Jurnalisme Damai adalah penerapan jurnalisme dalam berita yang menggunakan ukuran-ukuran etis, seperti memisahkan antara fakta dan opini media, menerapkan azas impartialitas atau tidak memihak, memberitakan dengan tidak menonjol-nonjolkan kekerasan itu sendiri melalui ukuran dan penempatan yang "berlebihan", serta tidak menggunakan istilah atau bahasa yang mendorong permusuhan.
Kemudian memberikan kesempatan suara pada voiceless, bukan suara para elite yang bertikai. Lebih berorientasi pada korban yang tidak tampak, yang bersifat jangka panjang. Pemberitaannya cenderung lengkap, melakukan mapping terhadap persoalan, mencari akar permasalahan, dan solusi, bukan pemberitaan justru terkonsentrasi pada arena konflik.
Jurnalisme damai adalah jenis jurnalisme yang memposisikan berita-berita sebegitu rupa, yang mendorong dilakukannya analisis konflik dan tanggapan tanpa-kekerasasn (non violent).
Jurnalisme damai juga menampilkan berita dengan pendekatan framing bahwa konflik dengan kekerasan merupakan suatu problem kemanusiaan yang harus dihentikan dan dicegah. Konflik dengan kekerasan hanya akan memunculkan kerugian, penderitaan kemanusiaan, trauma psikologis, hilangnya masa depan, rusaknya struktur sosial, moral, dan budaya atau menunjukkan invisible effect of violent, yang penyembuhannya membutuhkan waktu lama dan sulit.
Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Beterson (1955), frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep framing dikembangkan lebih jauh oleh Goffman (1974). Ia mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas.
Dalam perspektif komunikasi analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkontruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.
Dalam analisis framing yang pertama kali dilakukan adalah melihat bagaimana media mengkontruksi realitas. Peristiwa dipahami bukan sesuatu yang taken for granted. Sebaliknya, wartawan dan medialah yang yang secara aktif membentuk realitas. Realitas tercipta dalam konsepsi wartawan. Berbagai hal yang terjadi, fakta, orang, diabstraksikan menjadi peristiwa yang kemudian hadir di hadapan khalayak.
Frame berhubungan dengan makna, bagaimana suatu peristiwa dapat dilihat dalam perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks. Dalam pendekatan ini perangkat framing dibagi dalam empat struktur besar. Pertama, struktur sintaksis yaitu menganalisis bagaimana cara wartawan menyusun fakta. Kedua, struktur skrip yaitu menganalisis bagaimana cara wartawan mengisahkan fakta (5W+1H). Ketiga, struktur tematik yaitu bagaimana cara wartawan menuliskan fakta. Keempat, struktur retoris yaitu bagaimana cara wartawan menekankan fakta.
Framing dalam berita dilakukan dalam empat cara. Pertama, pada identifikasi masalah yaitu suatu peristiwa dilihat sebagai apa dan dengan nilai positif atau negatif apa. Kedua, siapa yang dianggap penyebab masalah. Ketiga, pada evaluasi moral (moral evaluation) yaitu penilaian atas penyebab masalah. Dan keempat, saran penanggulangan masalah yaitu menawarkan suatu cara penanganan masalah dan kadangkala memprediksikan hasilnya.
Sekurangnya ada tiga bagian yang menjadi objek framing seorang wartawan, yakni judul berita, fokus berita, dan penutup berita. Judul berita di-framing dengan menggunakan teknik empati, yaitu menciptakan pribadi khayal dalam diri khalayak, sementara khalayak diangankan menempatkan pribadi mereka sebagai korban kekerasan atau keluarga dari korban kekerasan, sehingga mereka bisa merasakan kepedihan yang luar biasa.
Fokus berita di-framing dengan menggunakan teknik asosiasi, yaitu menggabungkan kebijakan aktual dengan fokus berita. Selanjutnya, penutup berita di-framing dengan menggunakan eknik packing, yaitu menjadikan khalayak tidak berdaya untuk menolak ajakan yang dikandung berita. Apapu inti ajakan, khalayak menerima sepenuhnya.
Framing dalam pemberitaan jurnalisme damai enggan menggali jalannya konflik atau persengketaan yang terjadi. Tetapi jurnalisme damai lebih menitikberatkan pada aspek human interest, dimana rasa empati dan kepiluan terhadap para korban konflik mendapatkan porsi yang lebih banyak daripada pemikiran para elit yang bertikai.
Jadi, framing dalam jurnalisme damai membingkai suatu peristiwa dengan perspektif positif (positif thinking). Dan tidak menyebarkan aura permusuhan atau kontraversi bagi khalayak luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar