BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aliran ini terbentuk disebabkan oleh beberapa faktor. Adapun sejarah terbentuknya aliran Mu’tazilah dilatar belakangi karena permasalahan antara golongan khawarij dan murji’ah yang disebabkan oleh politik.
Murji’ah berasums bahwa pelaku dosa besar bukanlah kafir, melainkan mereka disebut dengan sirik. Dan Wasil bin Ata mengatakan bahwa,” saya berpendapat bahwa oran yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak juga kafir”.
B. Masalah Bahasan
Adapun makalah ini berupaya membahas beberapa pokok bahasan, yaitu;
1. Kapankah Mu’tazilah terbentuk?
2. Apa saja doktrin-dotrin aliran Mu’tazilah?
3. Apa sajakah faktor terbentuknya aliran Mu;tazilah?
C.Tujuan Bahasan
Adapun tujuan penulis dalam menuliskan makalah ini yaitu:
1. Agar para pembaca mengetahui sejarah terbentuknya aliran Mu’tazilah.
2. Agar pembaca mengetahui doktrin-doktrin Mu’tazilah.
3. Agar pembaca mengerti apa saja factor terbentuknya Mu’tazilah.
BAB II
ALIRAN MU’TAZILAH
A. Asal-Usul kemunculan Mu’tazilah
Secara harfiah, kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik. Khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangn antara Ali bin Thalib dan lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair .
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’azilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan khawarij dan Murjiah akibat adanya peristiwa Tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murjiah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada kedua golongan ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Basri di Bashrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-basri dimasjid Bashrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosaa besar. ketika Hasan Al Basri sedang berfikir, Wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan,” saya berpendapat bahwa oran yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak juga kafir”. Kemudian Wasil pergi menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan prig ketempat lain dilingkungan mesjid. Disana Wasil mengulangi lagi pendapatnya dihadapan para pengikutnya.Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al-Basri mengatakan: Wasil menjauhkan diri dari kita(I’tazala anna). Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Teori baru yang juga diungkapkan oleh Ahmad Amin, menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Nama Mu’tazilah diberikan kepada golongan orang yang tidak mau berinvestasi dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman Utsman binAffan dan Ali bin Abi Thalib. Satu golongan mengikuti pertikaian itu, dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalat ila Kharbita). Oleh karena itu, dalam surat yang dikiriminya kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamakan golongan yang memisahkan diri dengan Mu’tazilin, sedang Abu Al-Fida menamainya dengan Mu’tazilah.
Dengan demikian, kata I’tazala dan Mu’tazilah telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri, yang mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.
Golongan Mu’tazilah juga dikenal dengan nama-nama lain seperti ahl al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tauhid wa al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan Tuhan. Lawan Mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan Al-Qadariyah karena mereka menganut paham free will and free act, yakni bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat. Selain itu, mereka menamainya juga Al-Mu’attilah. Karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud diluar zat Tuhan. Mereka menamainya juga dengan Wa’diyah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak ta’at pada hukum-hukum Tuhan.
Para Imam-imam Mu’tazilah
Adapun para khalifah islam yang sekurang-kurangnya menganut paham Mu’tazilah disekitar abad ke II dan ke III H di Bashrah dan di Baghdad adalah :
1. Yazid bin Walid, khalifah bani Umayyah (berkuasa pada tahun 125-126 H).
2. Ma’mun bin Harun ar Rasyid, khalifah bani Abbas ( berkuasa pada tahun 198-218 H).
3. Al Mu’tashim bin Harun ar Rasyid (berkuasa dari tahun 218-227 H).
4. Al Watshiq bin al Mu’tashim (berkuasa dari tahun 227 -232 H).
Kaum Mu’tazilah dikenal suka berdebat, terutama dihadapan umum. Karena mereka sangat yakin pada kekuatan aqal mereka. Hampir 200 tahun umat islam digoncangkan oleh perdebatan-perdebatan oleh kaum Mu’tazilah. Hal-hal yang menonjol pada mereka untuk diperdebatkan adalah:
1. Sifat-sifat Tuhan, ada atau tidak.
2. Buruk dan baik siapa yang menetapkan, akal atau syara’.
3. Pembuat dosa besar kekal dalam neraka atau tidak.
4. Quran itu makhluk atu tidak.
5. Perbuatan manusia dijadikan manusia atau Tuhan.
6. Allah bisa dilihat atau tidak di akhirat.
7. Surga dan neraka kekal atau tidak.
8. Tuhan itu wajib membuat yang baik dan yang lebih baik.
9. Mi’raj dengan tubuh atau tidak, dan lain-lain.
Aliran-Aliran dalam kaum Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah terpecah dalam banyak aliran, karena setiap mereka mempergunakan akal masing-masing. Sedangkan akal mereka itu tidak sama, akibat pendidikan mereka yang berlainan dan akibat zaman dan tempat mereka yang berbeda. Di antara aliran-aliran yang terbesar dari kaum Mu’tazilah adalah :
1. Aliran Washiliyah, yaitu aliran Washil bin ‘Atha.
2. Aliran Huzailiyah, yaitu aliran Huzzel al’ Allaf.
3. Aliran Nazamiyah, yaitu aliran Sayyar bin Nazham.
4. Aliran Haithiyah, yaitu aliran Ahmad bin Haith.
5. Aliran Basyariyah, yaitu aliran Basyar bin Mu’atmar.
6. Aliran Mizdariyah, yaitu aliran Abu Musa al Mizdar.
7. Aliran Tsamariyah, yaitu aliran Thamamah bin ar-rasy.
8. Aliran Hisyamiyah, yaitu aliran Hisyam bin Umar al fathi
9. Aliran Jahizhiyah, yaitu aliran Utsman al Jahizh.
10. Aliran Khayathiyah, yaitu aliran Abu Hasan Al-Khayath.
11. Aliran Jubaiyah, yaitu aliran Abu Ali al Jubai.
12. Aliran Ma’mariyah, yaitu aliran Ma’mar bin Ubeid as Salami.
I’itiqad kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan kaum Ahlussunnah wal jama’ah.
1. Buruk dan baik ditentukan oleh Akal.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa buruk dan baik ditentukan oleh akal, mana yang baik menurut akal, maka baiklah dia, begitu juga dengan hal yang buruk.Sedangkan menuru kaum ahlusunnah, yang menentukan baik dan uruk itu adalah Tuhan dan Rasulnya, ataupun al Quran dan as Sunnah. Bagi ahlus sunnah akal dipakai untuk meneliti segala sesuatu atau sebagai pelaksana, bukan menentukan hukum sesuatu. Karena akal itu sendiri tidak tetap.
2. Tuhan (Allah) tidak mempunyai sifat.
Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat. Yang ada pada Allah hanyalah Zat. Dasar paham ini ialah Tauhid. Karena jika Allah mempunyai sifat, berarti bukan tauhid. tetapi meliputi Zat dan Sifat. Sedangkan menurut kaum ahlussunah, Allah mempunyai banyak sifat. Ada sifat yang wajib pada Tuhan, ada juga yang tidak wajib ada pada Tuhan.
3. Al Quran sebagai Makhluk.
Kaum Mu’tazilah pada awal abad ke II dan ke III H telah mengoncangkan umat islam dengan keterangannya yang mengatakan bahwa alQuran itu makhluk, bukan sifat Allah yang Qadim. Sedangkan menurut kaum ahlussunnah, bahwa alQuran itu adalah Kalam. Kalam tuhan Allah yang Qadim itu diperdengarkan kepada malaikat Jibril lalu dijadikan bersuara dan berhuruf. Kemudian Malaikat Jibril membawa kepada Rasulullah sebagai wahyu.
4. Pelaku dosa besar.
Menurut kaum Mu’tazilah yang ber imam kepada Hasan Bashri, bahwa orang mu’min yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dengan perbuatannya. Ia tetap mu’min, tetapi mu’min yang durhaka. Lalu menurut Imam Mu’tazilah Wasil bin Atha, orang mu’min yang melakukan dosa besar dan mati atas dosanya, maka tidak pula mu’min dan tidak pula kafir, tetapi diantara keduanya (Manzilah bainal Manzilatain). Sedangkan menurut kaum ahlus sunnah, tempat di akhirah hanya du, Surga dan Neraka. Orang-orang yang mengerjakan dosa tidak kekal dalam neraka, tetpi akan keluar suatu waktu sesudah menjalani hukuman.
5. Tuhan tidak dapat dilihat.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat walaupun didalam Syurga. Karena hal ini akan menimbulkan tempat seolah-olah Tuhan dapat dilihat didalam syurga atau dimanapun ia dapat dilihat. Bahkan Imam Mu’tazilah Zamakhsyari mengatakan Kafir bagi yang mengatakan bahwa Tuhan bisa dilihat walaupun di Syurga. Sedangkan menurut kaum ahlussunnah, Tuhan akan dilihat oleh penduduk Syurga, oleh hamba-hambanya yang Shaleh yang banyak mengenal Tuhan ketika hidup didunia.
B. Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
Lima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah adalah Tauhid (pengesaan Tuhan), al-adl (keadilan Tuhan), al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-manzila bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi), dan al-amr bi al-ma’ruf wa an nahi wa al-munkar (menyeru kapada kebaikan dan mencegah kemunkaran).
1. At-Tauhid
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama bagi ajaran Mu’tazilah. Bagi aliran Mu’tazilah, Tauhid memiliki arti yang spesifik. Menurut mereka, Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, unik dan tak ada stupun yang menyamai-Nya.karenanya hanyala Dialah ang qadim.
Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuahn itu Esa, tak ada satupun yang menyerupai-Nya. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun, mendengar, melihat, kuasa, mengetahui dan sebagainya itu bukan sifat melainkan dzat-Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat.
Apa yang disebut sebagai sifat menurut Mu’tazilah adalah dzat Tuhan itu sendiri. Abu Al-Hudzail berkata: “Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah Tuhan sendiri. Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan itu adalah Tuhan sendiri”. Jadi, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat dan esensi Tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzat-Nya. Doktrin Mu’tazilah yang lain menjelaskan bahwatidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan. Tuhan adalah immateri. Oleh karena itu, karena itu tidak layak baginya segala atribut materi. Lebih tegasnya Mu’tazilah menolak faham antromorfisme.
Penolakan terhadap faham antromorfisme bukan semata-mata atas pertimbangan akal’ melainkan melainkan memilii rujukan yang sangat kuat dalam Al-Quran. Terdapat dalam surat As-syura; 9:
Artinya: “Tak ada satupun yang menyamai-Nya.”
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap aliran atromorfisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan. Mereka memalingkan arti kata-kata teersebut kepada arti yang lain sehingga hilanglah kejisiman Tuhan. Pemindahan arti ini tidak dilakukan secara semena-mena, tetapi merujuk pada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam bahasa Arab. Contoh ayat yang ditakwilkan artinya yaitu, kata-kata tangan dalam surat Shad; 75, diartikan kekuasaan dan pada konteks lain tangan dapat diartikan nikmat, pada surat Al-Maidah; 64.
2. Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah kedua yaitu al-Adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil merupakan penunjukan sifat yang paling gamblanguntuk menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan maha sempurna, maka sudah pasti Tuhan adil. Ajaran ini bertujuan ingi menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini diciptakan semata-mata untuk kepentingan manusia.
Ajaran tentang hal ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain sebagai berikut;
a. Perbuatan manusia
Manusia menurut Mu’tazilah melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak langsung. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Tuhan erlepas diri dari perbuatan yang buruk. Konsep ini konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia diakhirat adalah balasan dari perbuatannya didunia.
b. Bebuat baik dan buruk
Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk bebuat baik bagi manusia, bahkan yang terbaik. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulan kesan bahwa Tuhan pejahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Menurut an-Nazzam,salah satu tokoh Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan sdan kepengasiahn Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak baginya.
c. Mengutus Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini:
- Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus Rasul.
- Al-Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S. As-Syura; 29), dengan cara mengutus Rasul.
- Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar jalan tersebut berhasil, maka jalannya dengan cara mengutus rasul.
3. Al-Wa’ad wa A-l-Wa’id
Ajaran ketiga sanga erat hubungannya dengan ajaran yang kedua. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya, yaitu memberi pahala surga yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pastina benar.
4. Al-Manzila bain Al-Manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan orang beriman atau mukmin yang melakukan dosa besar. Menurut pendapat Wasil bin Ata (pendiri mazhab Mu’tazilah), orang beriman atau mukmin yang melakukan dosa besar, berada diantara dua posisi. Pokok ajaran ini adalah, mukmin yang melakukan dosa besar dan belum bertobat bukan lagi muknmin atau kafir, melainkan fasik.
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan mukmin secara mutlak. Karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepadda Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan, rasul-Nya dan mengerjakan pekerjaan yang baik.
5. Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Dan ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemunkaran (Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik.
Abd Al-Jabbar mejenyatakan, ada beberapa syara yang harus dienuhi seorang mikmin dalam beramar ma’ruf dan nahi munkar, yaitu:
- Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf yang dilarang itu memang munkar.
- Ia menngetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
- Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa madarat yang lebih besar.
- Ia mengatahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penulisan makalah ini penulis menarik beberapa kesimpulan yaitu;
Secara harfiah, kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik. Khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangn antara Ali bin Thalib dan lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair .
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’azilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan khawarij dan Murjiah akibat adanya peristiwa Tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murjiah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada kedua golongan ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Basri di Bashrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-basri dimasjid Bashrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosaa besar. ketika Hasan Al Basri sedang berfikir, Wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan,” saya berpendapat bahwa oran yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak juga kafir”. Kemudian Wasil pergi menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan prig ketempat lain dilingkungan mesjid. Disana Wasil mengulangi lagi pendapatnya dihadapan para pengikutnya.Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al-Basri mengatakan: Wasil menjauhkan diri dari kita(I’tazala anna). Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Adapun para khalifah islam yang sekurang-kurangnya menganut paham Mu’tazilah disekitar abad ke II dan ke III H di Bashrah dan di Baghdad adalah :
5. Yazid bin Walid, khalifah bani Umayyah (berkuasa pada tahun 125-126 H).
6. Ma’mun bin Harun ar Rasyid, khalifah bani Abbas ( berkuasa pada tahun 198-218 H).
7. Al Mu’tashim bin Harun ar Rasyid (berkuasa dari tahun 218-227 H).
8. Al Watshiq bin al Mu’tashim (berkuasa dari tahun 227 -232 H).
Hal-hal yang menonjol untuk diperdebatkan oleh aliran Mu’tazilah adalah:
1. Sifat-sifat Tuhan, ada atau tidak.
2. Buruk dan baik siapa yang menetapkan, akal atau syara’.
3. Pembuat dosa besar kekal dalam neraka atau tidak.
4. Quran itu makhluk atu tidak.
5. Perbuatan manusia dijadikan manusia atau Tuhan.
6. Allah bisa dilihat atau tidak di akhirat.
7. Surga dan neraka kekal atau tidak.
8. Tuhan itu wajib membuat yang baik dan yang lebih baik.
9. Mi’raj dengan tubuh atau tidak, dan lain-lain.
Aliran-aliran yang terbesar dari kaum Mu’tazilah adalah :
1. Aliran Washiliyah, yaitu aliran Washil bin ‘Atha.
2. Aliran Huzailiyah, yaitu aliran Huzzel al’ Allaf.
3. Aliran Nazamiyah, yaitu aliran Sayyar bin Nazham.
4. Aliran Haithiyah, yaitu aliran Ahmad bin Haith.
5. Aliran Basyariyah, yaitu aliran Basyar bin Mu’atmar.
6. Aliran Mizdariyah, yaitu aliran Abu Musa al Mizdar.
7. Aliran Tsamariyah, yaitu aliran Thamamah bin ar-rasy.
8. Aliran Hisyamiyah, yaitu aliran Hisyam bin Umar al fathi
9. Aliran Jahizhiyah, yaitu aliran Utsman al Jahizh.
10. Aliran Khayathiyah, yaitu aliran Abu Hasan Al-Khayath.
11. Aliran Jubaiyah, yaitu aliran Abu Ali al Jubai.
12. Aliran Ma’mariyah, yaitu aliran Ma’mar bin Ubeid as Salami.
I’itiqad kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan kaum Ahlussunnah wal jama’ah, yaitu:
1. Buruk dan baik ditentukan oleh Akal.
2. Tuhan (Allah) tidak mempunyai sifat.
3. Al-Quran sebagai makhluk.
4. Pelaku dosa besar.
5. Tuhan tidak dapat dilihat.
Lima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah adalah Tauhid (pengesaan Tuhan), al-adl (keadilan Tuhan), al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-manzila bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi), dan al-amr bi al-ma’ruf wa an nahi wa al-munkar (menyeru kapada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
B. Saran-saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan kepda pembaca yaitu:
1. Agar lebih memperbanyak referensi yang dimiliki.
2. Pahami apa yang telah pembaca baca.
3. Dan lebih sering berdiskusi dengan teman-teman.
Created:
Asmaul Husna
Wardatul Ula
Misrule Hayati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar